MENGKAJI BASAFA DIULAKAN SECARA MENDALAM DAN HUBUNGANNYA DENGAN SYEIKH BURHANUDDIN
Menurut Tuangku Hery Firmasyah (Khalifah XV dari Syeikh Burhanuddin),
Adapun Syeikh Burhanuddin yang bernama asli Sipono (si Panuah
/Samporono) bukan penduduk asli yang manaruko di Ulakan tetapi dia
datang dari Guguak Sikaladi Pariangan Padang Panjang Tanah Datar ayahnya
Pampak sati karimun merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai
bersuku Guci atau Dalimo bila di pariangan sebab ketika Pampak
sekeluarga hendak pindah ke Pariaman mereka melapor terlebih dahulu pada
Tuanku Datuak Katumangguangan dan oleh Datuak sebagaimana jalur
turunnya suku dari darek ke rantau maka Keluarga Akalundang di anjurkan
membawa suku Guci ke rantau pesisir pantai Pariaman dimana Suku Guci
merupakan pecahan dari Suku Dalimo di Pariangan.
(Foto: Gerbang Makam Syeihk Burhanuddin)
Nagari Ulakan
Nagari Ulakan Berada di Pesisir Pantai
Padang Pariaman Sumatera barat daerah ini terkenal dengan kunjungan bersyafarnya pengikut ulama besar Syatariyah Syeikh Burhanuddin di Ulakan.
Nama
ulakan sendiri berasal dari sebutan Penolakan untuk tempat empat
sahabat syeikh Burhanuddin yang ditolak kembali belajar dengan Syeikh
Abdurrauf dan diperintah untuk menjadi murid Syeikh Burhanuddin atas
perintah Syeikh Abdurrauf sendiri sekaligus membantu Syeikh Burhanuddin
dalam mengembangkan Agama Islam di Ranah Minang.
Nagari Ulakan berada di wilayah pesisir pantai sebelah barat Sumatera
tepatnya di Kabupaten Padang Pariaman sederetan alur pantai Kota
Padang, berada di dekat Bandara Internasional MInangkabau (BIM)
Ulakan merupakan bagian dari wilayah dibawah naungan kecamatan Ulakan
Tapakis tetapi masih merupakan daerah otonom Kerajaan Adat Rantau
Minang Kabau (Bak kata pepatah Luhak ba Panghulu, Rantau Barajo) maka
disini berulayat Rajo nan Sabaleh. Yaitu 1. Rangkayo rajo Sulaiman, 2.
Rangkayo Rajo Mangkuto, 3. Rangkayo rajo Dihulu, 4. Rangkayo Rajo Amai
said, 5. Rangkayo Rajo Malakewi, 6. Rangkayo rajo Tan Basa, 7. Rangkayo
Rajo Majo Basa, 8. Rangkayo Rajo malako, 9. Rangkayo Rajo Sampono. 10.
Rangkayo Datuk Tamin Alam 11.Rangkayo Datuak Batuah. Memegang sendi adat
dan sarak.
Ulakan
berada dalam wilayah pemerintahan terendah Padang Pariaman dimana pada
sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Batang Anai sebelah barat
berbatasan dengan lautan Samudra Indonesia dan sebelah Utara bebatasan
dengan kecamatan Nan Sabaris Pauh Kambar.
Mata pencaharian masyarakat umumnya sebagai Nelayan dan sebahagian
lagi bertani namun banyak juga yang diluar daerah karenasudah garis
darah masyarakat Minang khususnya Pariaman memiliki darah perantau maka
diama ada kota besar disitu ada masyarakat Pariaman demikian pula
Masyarakat Ulakan.
Pada abad ke XII M. (
Urang Tuo Nan Barampek) orang tua berempat turun dari Darek merintis
Nagari (malaco pintalak) membuka ladang. yaitu suku Panyalai (Caniago)
dan Suku Koto. kedua suku inilah yang menjadi suku asal yang memiliki
peranan khusus di ulakan namun perkembangannya empat suku lain membuat
belahan datang kemudian yaitu suku Sikumbang datang mengisi adat pada
suku Koto dan suku Tanjung mengisi adat pada suku Jambak yang dahulu
malakok mengisi adat ke suku Koto kemudian belakangan datang suku Guci
membelah ke suku Panyalai (Chaniago).
Menurut
penuturan pemuka adat dan tokoh masyarakat dan data arsip yang ada di
Belanda bahwa nagari ulakan dikenal sejak kehadiran Syeikh Buhanuddin
pada Abad ke 12 Hijriyah atau abad ke 17 Masehi. diaman kehadiran Syeikh
Burhanuddin menjadi pusat perhatian karena dialah orang pertama yang
mendirikan sekolah berbentuk pesantren di pulau perca Pantai Sumatera
yang kala itu masih berbentuk surau sebagai pusat pendidikan islam dan
kajian agama islam diMinangkabau. bersama dengan empat sahabatnya yaitu
Datuk Maruhun Panjang, dari Padang Gantiang, siTarapang dari Kubang
Tigobaleh (Solok), Mohd. Natsir syeikh Surau Baru dariKoto Tangah
Padang dan Syeikh Buyuang Mudo dari Bayang Pulut-Pulut Pesisir selatan
yang sebelum selesai belajar pada Syeikh Abdurrauf mereka pulang
terlebih dahulu dan mencoba mengembangkan ajaran Islam dikampung halaman
masing masing namun tidak mendapat sambutan sehingga kembali ke aceh
dan diperintahkan belajar pada Syeikh Burhanuddin di Tanjung Medan
Ulakan.
Syeikh Burhanuddin
Adapun Syeikh Burhanuddin yang bernama asli Sipono (si Panuah
/Samporono) bukan penduduk asli yang manaruko di Ulakan tetapi dia
datang dari Guguak Sikaladi Pariangan Padang Panjang Tanah Datar ayahnya
Pampak sati karimun merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai
bersuku Guci yang sejak 256 tahun sebelumnya sudah merupakan daerah
kerajaan Pagaruyung sekitar 30 KM ditimur Pariangan.
Neneknya bernama Puti aka Lundang keturunan Putri bangsawan kakeknya bernama Tantejo Gurhano.
dari pasangan ini lahirlah Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah merupakan seorang Datu pandai obat.
sementara neneknya Puti aka Lundang bersuku Guci garis keturunan dari kuweak di batu hampar putiah lereng gunung merapi.
Dalam mamang
sejarah
disinilah tempat bersemenyamnya Buayo putiah daguak, galundi nan baselo
dan sirangkak nan badangkang. Dan kelahiran syeikh Burhanuddin
diperkirakan sekitar tahun 1646 Masehi- 1056 H.
Kehidupan sehari hari si pono kecil tidak ubahnya seperti anak
seusianya yang selalu bejajar dan bermain namun ada kekhususan yang
setiap malam diajarkan ayahnya yaitu ilmu kebathinan dan kedigyaan bela
diri silat. Dimana bekal pelajaran inilah yang dia sisipi pada
pengembangan agama kelak.
Kecelakaan yang merubah hidup.
Ada kelebihan dari sipono bahwa dia selalu tidak mau menerima apa
adanya dia selalu berfikir dan bertanya dan banyak waktunya dia habiskan
di bukit untuk merenung sambil menggembala kerbau sehingga suatu ketika
sirangkak nan badangkang (Harimau) mengintai untuk memangsanya namun
berbekal pelajaran beladiri dari ayahnya sipono bisa mengusir harimau
tersebut namun malang baginya urat kakinya putus terkena kuku sirangkak.
Sehingga akibat peritiwa itu dibawanya hingga akhir hayat dan dia
mendapat gelar baru oleh teman temannya si pincang.
Secara garis besar agama Islam telah masuk ke Pulau Perca (Asia) dan
disebarkan di aceh 300 tahun sebelum sipono lahir namun agama baru ini
tidak bisa menyentuh sendi kehidupan daerah darek yang masih memeluk
agama Hindu dan Budha yang kuat, namun ulama dari timur bisa menembus
pedalaman Pakan Tuo batang bangkaweh yang merupakan salah satu jalur
perdagangan kala itu.
Dan seperti biasa setiap hari pekan Sipono selalu dibawa ayahnya
pergi ke pasar Tuo Batang Bangkaweh disini dia dipertemukan pada seorang
gujarat yang disebut dengan “Illapai” untuk belajar berniaga.
Kiranya Illapai ini memasukkan fahammnya pada Sipono dan sipono
tertarik untuk mendalaminya dan sejak saat itu bermulalah perjalanan
hidup si Pono.
Suatu ketika Illapai menceritakan bahwa ada guru yang lebih pandai
darinya di negeri rantau pesisir Minangkabau yaitu seorang ulama dari
mekah yang terkenal dengan sebutan Tuanku Madinah. Sedang mengajarkan
agama Islam.
Cerita ini menarik minat sipono maka diutarakannyalah niatnya untuk belajar agama Islam di Tapakis pada Tuanku Madinah tersebut.
Melihat semangat anak kesayangannya dan hiba membayangkan anaknya
yang selalu di perolok-olok kan temannya karena pincang maka niat
tersebut dikanulkan oleh ayahnya untuk pindah sekaligus membuka lapangan
usaha di daerah baru.
Berangkatlah keluarga ini 6 rombongan menyelusuri hutan mengiliri
batang air melewati nagari malalo (Singkarak) dan turun gunung sampai
Nagari Asam Pulau dan terus mengiliri anak sungai batang anai sampai
kenagari Sintuak Lubuk Aluang.
Disintuak
merupakan nagari yang pertama mereka tempati dan menetap di perantauan
dan karena ditempat ini kehadirannya diterima maka mulailah mereka
memulai kehidupan dengan menggembala kerbau.
Karena setiap hari kerjanya mengembala kerbau, diusianya yang
kesebelas tahun maka sipono tidak banyak bergaul dengan orang lain
sehingga dia bagaikan mengasingkan diri disamping setalian untuk
menghindari cemoohan orang akan kondisi Kakinya yang pincang.
Padang gembalaannya semakin hari semakin jauh dan tidak terbatas di
Sintuk saja melainkan melebar sampai ke Tapakis yaitu daerah antara
sintuk dan Ulakan kini.
Dipengembalaannya di Tapakis sipono mendapat teman bermain orang
ulakan yang berasal dari Tanjung Medan yang bernama Idris yang kelak
diberi gelar Khatib Majolelo dan menjadi teman setianya ketika kembali
dari Aceh dan menjadi tulang punggung dalam penyiaran Islam di Ulakan.
Dari si Idris inilah si pono banyak mendapat informasi tentang
keberadaan Yah Yudi Syeikh Abdul Arif yang digelari Tuangku Madinah
karena berasal dari Madinah Tanah Arab dan pada Syeikh ini Sipono
belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya dan kemauannya yang kuat dalam mempelajari agama
maka dengan cepat si pono berhasil menguasai semua pelajaran yang
diberikan Tuanku Madinah. Dan pada suatu jumat gurunya menyuruh sipono
untuk menjadi Imam dan memimpin guru serta teman teman seperguruannya
shalat berjamaah, dia berhasil melaksanakan tugas tersebut tanpa cela
sehingga hati syeikh Madinah senang dan mengajaknya berbicara serius
dengan mengatakan bahwa ilmu yang dimilikinya belum lengkap untuk itu
sipono hendaknya pergi berguru ke Aceh menemui Syeikh Abdlurrauf di
singkil.
Sekaitan dengan berkembangnya ajaran Islam di Ulakan masyarakat mulai tidak menyenangi Sipono
yang
imbasnya juga terhadap keluarga Pampak seseluruhan untuk itu inisiatif
sipono pergi ke Aceh disetujui ayahnya agar bisa menghindari kemarahan
masyarakat yang mulai main kasar bahkan ingin membunuh si pono karena
ajaran islam tersebut menghalangi adat kebiasaan mereka dalam berjudi
dan bersabung Ayam.
Bagi orang tua kapergian sipono ke Aceh sama saja dengan kehilangan
anak untuk selamanya karena aceh itu jauh dan medannya sangat berat dan
berbahaya sehingga kepergian sipono bagaikan kepergian pamit untuk mati
yang tidak kembali lagi.
Ranji Menghubungkan Syeikh Burhanuddin dengan Nabi Muhammad SAW.Perjalanan ini dilepas oleh orang tua dan sahabat karibnya Idris dengan perasaan galau dan kehilangan.
Mendapati situasi seperti ini sipono berpesan jangan bersedih bahwa
dia akan kembali terutama pada sahabatnya si Idris yang berjanji akan
menanti kedatangan si pono sahabatnya.
Perjalanan ke Aceh.
Dengan
bekal keberanian dan keyakinan yang kuat untuk menambah ilmu Agama ke
Syeikh Abdurrauf di Aceh maka Hutan Rimba belantara bukit barisan dia
jelajahi tanpa mengenal lelah siang berteman matahari malam berselimut
embun dengan bilangan hari minggu dan berganti bulan akhirnya Pakiah
Pono bertemu dengan empat orang yang juga sehaluan jalan.
Keempat orang tersebut berhenti ditepi jalan menunggu Pakiah Pono
melewatinya, melihat perawakan dari ke empat orang tersebut hati Pakiah
Pono sama sekali tidak ciut meski dalam hatinya bertanya tanya mengapa
mereka berhenti padalah dia sudah bersengaja berjalan lambat-lambat agar
tetap berada dibelakang.
Ketika sudah dekat dengan sopan Pakiah Pono menyapa mereka sambil
menghatur sambah tangan di depan dada yang dibalas dengan sopan pula
oleh keempat orang tersebut dan saling bertanya darimana berasal dan
kemana tujuan.
Setelah berkenalan dan mengungkap nama masa kecil serta gelar yang
disandang kemudian berbincang-bincang tentang arah tujuan yang kiranya
sama-sama hendak menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf di Singkil Aceh.
Karena kepintaran berdiplomasi si Pakiah Pono maka atas kesepakatan
mereka berlima ditunjuklah Tuanku Pono menjadi pimpinan Rombongan hingga
sampai di Aceh Singkil.
Adapun teman berempat yang bertemu Pakiah Pono adalah Datuak maruhun
Panjang dari Padang gantiang Batu Sangka, Sitarapang dari Kubuang
Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah Padang (Koto Panjang),
Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah.
Syeikh AbdurraufGerbang Makam Syeik AbdurraAbdurruf
Syeikh Abdurrauf merupakan seorang Mufti pada kerajaan Aceh yang sama
seperguruan dengan Syeik Abdul Arif syeikh tuangku Madinah yang belajar
dengan Syeikh Abdul Ahmad Khusyasi di Madinah.
Syeikh Abdurrauf adalah guru yang ahli dalam ilmu Fikih, ilmu
Tashauf, ilmu Nahu syaraf, Tafsir, mantiq, ilmu Maani, Badi,Bayan,Tauhid
dan Ushul.
Adapun ranji silsilah keilmuan Syeikh Abdurrauf adalah Syeikh Abdul
Ahmad Khusyasi, Syeikh Muhammad Syanawi, Syeikh Sibatullah, Syeikh
Muhammad Alwi, Syeikh Muhammad Lawsi, Syeikh Hudhuri, Syeikh
Hidayatulah, Syeikh Syathari, Syeikh Abdul Syathari, Syeikh Muhammad
Arief, Syeikh Muhammad Asyik, Syeikh Khadi Khali, Syeikh Ali Safi’i,
Syeikh Asnawi, Syeikh Asyik Asaki, Syeikh Muhammad Maghribi, Syeikh Abu
Yazid Bustami, SyeikhJa’far Sidik, Syeikh H. Muhammad Bakir, Syeikh
Zainul Abidin, Syeikh Saidina Husein, Syeikh Saidina Ali, Nabi Muhamad
Rasulullah SAW.
Dengan ranji inilah Pakiah pono ( Syeikh Burhanuddin) kelak di sandingkan.
Pakiah Pono jadi Murid Syeikh Abdurrauf as Singkili (Syeikh Kuala)Sejarah singkat Syeik AbdurraufSyeikh
Abdurrauf dikenal juga dengan sebutan Syeikh Kuala, beliau dilahirkan
di Singkil pada tahun 1615 Masehi atau 1024 Hijriyah. Syekh Abdurrauf
merupakan keturunan Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada
akhir abad ke 13. Nama Singkil kemudian dinisbatkan pada daerah
kelahirannya.
Menurut sejarah ayah Singkil adalah kakak laki-laki dari Hamzah
Al-Fansuri, namun tidak cukup bukti yang meyakinkan bahwa ia adalah
keponakan Al-Fansuri.
Adalagi
Nama yang disebut sebagai ayahnya dimana dia merupakan seorang ulama
yang juga filsuf yang terkenal dengan pantheismenya yaitu Syeikh ‘Ali
Menurut cerita Dia adalah seorang keturunan Arab yang telah mengawini
wanita setempat dari Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua di
Sumatera Barat. Keluarga itu lantas menetap di sana.
Singkil didapatkan pendidikan pertama di tempat kelahirannya,
Singkil, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang alim. Ayahnya juga
mempunyai pesantren. Singkil pun menimba ilmu di Fansur (Barus), karena
ketika itu negeri ini menjadi salah satu pusat Islam penting di
nusantara serta merupakan titik hubung antara orang Melayu dan kaum
Muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan.
Beberapa tahun kemudian, Singkil berangkat ke Banda Aceh, ibukota
kesultanan Aceh dan belajar kepada Syams al-Din al-Samatrani, seorang
ulama pengusung Wujudiyyah.
Sejarah perjalanan karier Singkil diawali saat dia menginjakkan kaki di jazirah Arab pada 1052 H/1642 M.
Sekitar 19 guru yang ada dalam catatan sejarah pernah mengajarinya
dengan berbagai disiplin ilmu Islam di samping sebanyak 27 ulama
terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang
berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk
Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah.
Eksperimen pencarian jatidiri dan keislamannya dimulai di Doha,
Qatar, dengan berguru pada seorang ulama besar, Abd Al-Qadir al Mawrir
kemudian berakhir dengan Syeikh Abdul Khusyasi di Madinah yang kini
menjadi ranji aliran ajaran Syeikh Burhanuddin.
Sepanjang hidupnya, tercatat Singkel sudah menggarap sekitar 21 karya
tulis yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqih
dan selebihnya kitab ilmu tasawuf. Bahkan tercatat kitab tafsirnya
berjudul Turjuman al-Mustafid (Terjemah Pemberi Faedah) adalah kitab
tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan berbahasa Melayu.
Dia juga menulis sebuah kitab fiqih berjudul Mi’rat at-Tullab fi
Tahsil Ahkam asy-Syari’yyah li al Malik al-Wahhab (Cermin bagi Penuntut
Ilmu Fiqih pada Memudahkan Mengenal Hukum Syara’ Allah) yang ditulis
atas perintah Sultanah.
Sementara di bidang tasawuf, karyanya yakni Umdat al-Muhtajin (Tiang
Orang-Orang yang Memerlukan), Kifayat al-Muhtajin (Pencukup Para
Pengemban Hajat), Daqaiq al-Huruf (Detail-Detail Huruf) serta Bayan
Tajalli (Keterangan Tentang Tajali).
Namun, di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang
dianggap penting bagi kemajuan Islam di nusantara yaitu kitab tafsir
berjudul Tarjuman al-Mustafid. Ditulis ketika Singkel masih berada di
Aceh, kitab ini telah beredar luas di kawasan Melayu-Indonesia bahkan
hingga ke luar negeri.
oleh banyak kalangan, tafsir ini telah banyak memberikan petunjuk
sejarah keilmuan Islam di Melayu. Di samping pula kitab tersebut
berhasil memberikan sumbangan berharga bagi telaah tafsir al-quran dan
memajukan pemahaman lebih baik terhadap ajaran-ajaran Islam.
Pada bagian lain, pendapat Singkel terhadap paham wahdadul wujud
dipaparkannya dalam karya Bayyan Tajali. Karya ini juga merupakan
usahanya untuk merumuskan keyakinan pada ajaran Islam.
Kalimat utama dari Syeikh Abdurrauf adalah betapapun yakin seorang
hamba kepada Allah, namun khalik dan mahluk tetap memiliki arti
tersendiri.
Sepulang dari belajar dia meneruskan pesantren ayahnya di singkil dan
bekerjasama dengan Kesultan Aceh dengan menjadi mufti kerajaan.
Singkil Selayang pandangSingkil merupakan sebuah daerah di Aceh yang atas UURI Nomor 14 tahun 1999 tepatnya tangal 20
April
1999 Singkil menjadi sebuah Kabupaten akibat pemekaran dari Kabupaten
Aceh Selatan dengan wilayah seluas 2.187 km2 terdiri atas 11 kecamatan
dan 127 kelurahan, berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.
Kabupaten Aceh Singkil sendiri terdiri dari dua wilayah antara
daratan dan Kepulauan sementara Singkil sendiri merupakan Ibukota
Kabupaten yang terletak di jalur penghubung Banda Aceh, Medan dan
Sibolga.
Singkil tidak hanya merupakan nama Salah satu Kabupaten di NAD
apalagi hanya nama Kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil, tapi singkil
merupakan nama sebuah suku bangsa yang memiliki budaya dan sistem
kekerabatan serta pranata sosial lainnya yang sudah lengkap, mendiami
daerah geografis yang saat ini dikenal Kab. Aceh Singkil dan Kota
Subulussalam,
Masyarakat
Singkil hidup secara berkelompok dan membentuk beberapa desa di
Kabupaten Aceh Tenggara (Tanoh Alas). Singkil sendiri memiliki 15 Desa
dan 9 Kelurahan.
Bahasa Suku Singkil sendiri berkerabatan dengan Bahasa suku Batak
Pakpak di Sumatera Utara Suku bangsa Pakpak menurut cerita berasal dari
keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang
kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
Namun adat dan budayanya jauh berbeda karena suku singkil sendiri
duluan menganut agama Islam sementara Suku Pakpak sendiri dari beragama
Hindu kemudian oleh misionaris beralih ke agama kristen.
Selain itu suku Singkil lebih banyak bercampur dengan etnis-etnis tetangganya seperti suku Minang dan suku Aceh sendiri.
Pakiah Pono tiba di SingkilPakiah
Pono Datuak maruhun Panjang dari Padang gantiang Batu Sangka,
Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok, M. Nasir dari Koto Tangah
Padang (Koto Panjang), Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah
akhirnya tiba di Singkil, mereka langsung menemui Syeikh Abdurrauf di
kediamanya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan mereka berlima.
Awalnya mula yang menemui Syeikh Abdurrauf adalah sahabat Pakiah pono
yang berempat namun mereka mengatakan kedatangan mereka berjumlah lima
orang maka menyusul muncul Pakiah pono yang kalinya cacat kecil sebelah
akibat peristiwa masa kecil.
Melihat kedatangan Pakiah pono dengan sembah sujud berbudi Syeikh
Abdurrauf teringat akan pituah gurunya bahwa nanti akan ada calon
muridnya datang dari arah selatan yang nantinya akan menjadi penyuluh
agama mewarisi ajarannya untuk dikembangkan dari pesisir Aceh ke Selatan
dimana yang satunya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi.
Maka tanpa ragu Sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi
murid dan di persilahkan masuk ke surau mengambil tempat untuk tinggal.
Alangkah gembiranya mereka kerena mendapat restu belajar dan sambil
berlari mereka berebutan mengambil lokasi dimana keempat orang tersebut
berebut mengambil lokasi ditiap sudut sementara si Pakiah Pono tenang
tidak berebut tempat sehingga dia tidak kebagian lokasi
Melihat prilaku Pakiah pono yang bersahaja menimbulkan kagum dari
sang Syeikh dan akhirnya si Pakiah Pono di anjurkan tinggal di rumahnya
saja.
Sebuah pembelajaran yang diterapkan oleh Syeikh Abdurrauf dengan
mudah dipahami Pakiah pono apalagi Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat
pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh
orang awam.
Ma’rifat berguru:“Murid laksana mayat ditangan yang memandikan”Sebuah pembelajaran yang diterapkan oleh Syeikh Abdurrauf dengan
mudah dipahami Pakiah pono apalagi Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat
pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa dipahami dengan mudah oleh
orang awam.
Apalagi Latar belakang Pakiah Pono yang berasal dari keluarga
bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras
yang diberi Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah, anak Tantejo Gurhano
seorang Datu sakti di Pariangan sangat berguna diterapkan di pesantren
sehingga Syeik Abdurrauf mempercayakan Pakiah Pono untuk mengurus
keperluan Pesantren, dari membuat dan memelihara ikan di kolam,
Berkebun dan kesawah juga menggembala Sapi kepunyaan Sang Syeikh hal itu
dia lakukan tanpa membantah karena pakiah pono menyadari dalam ilmu
tareqat apapun alirannya dalam menuntut ilmu
“murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya” semakin
tinggi kepatuhan seorang murid terhadap guru maka semakin tinggi
keyakinannya pada dirinya sendiri sehingga tanpa disadari terbuka hijab
ilmu Allah dan dasar inilah yang memunculkan kejadian-kejadian yang
tidak terduga terjadi.
Makanya tiap orang yang mendalami ilmu tareqat berlainan
kelebihan-kelebihan yang dia dapatkan karena ilmu tersebut dia dapatkan
hasil dari hijabah yang dialakukan sendiri sehingga walau dengan gurunya
sekalipun penampakan kelebihan itu tidak sama.
Secara harfiah Tareqat maknanya adalah Jalan atau cara dimana dalam hal ini dinisbatkan untuk jalan mendekatkan diri pada Allah.
Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku tuju, KeridhaanMulah yang aku cari,Kuharapkan kasih sayangMu,Serta mengharapkan menjadi hambaMu yang senantiasa cinta dan terdekat dengan Mu.Untuk mencapai ini dalam ilmu tashauf dibutuhkan seorang mufti atau
guru pembimbing yang bisa dipercaya secara lahir maupun bathin karena
menyangkut penyerahan kehidupan sang murid secara bulat.
Setelah penyerahan ini sang murid telah menghipnotis dirinya untuk
tidak lagi menguasai dirinya secara penuh maka disinilah letak
terbukanya hijab Allah karena sang murid hidup dalam keadaan
sadar dalam ketidak sadaran dalam
artian dia sadar sesadar sadarnya disaat raganya berada tidak dalam
kekuasaan otak kecilnya yang penuh logika secara penuh melainkan
dikuasai oleh otak besar yang memiliki gelombang penglihatan tanpa
batas.
Untuk ujian kepatuhan ini Syeikh Abdurrauf menguji siswanya dengan
merendahkan martabat sang siswa dengan cara menyuruhnya menyelam di
kolam tempat pembuangan tinja ratusan penghuni pesantren.
Dalam ujian ini tidak seorangpun dari siswa Pesantren yang mau melakukannya kecuali Pakiah pono.
Dalam hikayat, Suatu hari Syeikh Abdurrauf menguji siantrinya dengan
memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang
Syeikh jatuh di WC pesantren yang penuh kotoran manusia.
Dari sekian banyak santri hanya Pakiah ponolah yang mau sepenuh hati
menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk
kotoran dan menyerahkannya pada sang Guru setelah dia samak dan
bersihkan.
Maka berbinarlah mata Sang guru karena dia mendapatkan murid yang
benar-benar akan bisa mewarisi aliran ilmu yang dia pelajari dan pahami
selama ini.
Ketika Syeikh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia
bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang
tinggal agar menyuruh Pakiah Pono menyusulnya kepulau tersebut.
Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi Pakiah Pono
bergegas ke tepi pantai tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat
sebuah perahupun untuk bertolak ke pulau
karena Pakiah Pono cucu Tantejo Gurhano sang Datu ternama Pariangan,
maka menguasai alam bukanlah sesuatu yang sulit apalagi dengan bekal
pengetahuannya tentang sari’at Islam dan pemahamannya akan maksud
kandungan Alqur’an sudah sangat mendalam dan jabaran dari ma’rifat
asmaul husna sudah dia pecahkan maka atas izin Allah dengan keyakinan
penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan
diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia
melangkah menuju pulau, Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari
daratan maupun di seberang pulau sehinga ini menjadi salah satu
kekeramatan Pakiah Pono.
Kejadian serupa juga terjadi disaat Pakiah Pono sedang membetulkan
atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan mengenai anak
gadis Sang Guru maka dengan seketika Pakiah Pono melayang kebawah untuk
menyambut kayu tersebut.
Kalau dalam ajaran ayahnya dia menggunakan ilmu Shastra-Shakuna teknik mengatasi gravitasi alam.
Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pegangan kaum shufi adalah disaat Pakiah Pono diuji ke imanannya akan godaan wanita.
Saat
itu Pakiah Pono disuruh menjaga anak gadis sang Guru yang lagi
mekar-mekarnya dirumah sementara Syeikh Abdurrauf pergi memenuhi
undangan panggilan kerajaan.
Kiranya hormon pertumbuhan Pakiah Pono sedang memuncak pula maka
bangkitlah nafsunya melihat sang anak majikan yang sedang ranum menjadi
tanggungannya.
Inilah perang sangat dahsyat yang dialami Pakiah Pono perang melawan hawa nafsu sendiri disaat nafsu sedang memuncak.
Untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat
mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelaminnya dengan batu.
Bagi Pakiah Pono dari pada jadi budak nafsu seitan dan menjadi orang
terbuang didunia dan diakhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang
menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.
Meski peristiwa ini disesalkan sang guru namun itu sudah merupakan
keputusan yang tidak bisa dirubah lagi dan sejak saat itu bergarislah
tabir bahwa Pakiah Pono tidak bisa memiliki keturunan dari darahnya
dagingnya sendiri karena alat kelaminnya sudah rusak.
“PAKIAH PONO DIBERI GELAR SYEIKH BURHANUDDIN”Cukup
lama Pakiah Pono menderita penyakit akibat cidera alat kelaminnya dan
ketika sembuh dia tetap melakukan tugas semula seperti melayani
kebutuhan santri dengan bijak, mengikuti dan menyimak alur pemerintahan
kesultanan Aceh yang kelak sebagai bekalnya ikut masuk menata adat
istiadat dikampung halamannya.
Hal inilah yang membuat Syeikh Abdurrauf menjadi lebih perhatian padanya.
Adapun Pembelajaran yang diterapkan Syeikh Abdurrauf pada Pakiah Pono merupakan metoda baru yaitu dengan pendekatan tali bathin.
Tidak ada jarak antara santri dengan murid sehingga pelajaran yang
diberikan melalui lisan dengan mudah dapat dipahami Pakiah pono apalagi
cara belajarnya juga beda suasana dengan yang lain.
Dengan demikian Pakiah pono dapat menjabarkan hakikat pelajaran tersebut dengan metoda yang bisa di pahaminya.
Karena minat serta perhatiannya sungguh luar biasa apalagi diikuti
dengan daya ingatnya yang tinggi membuat Pakiah Pono termasuk murid yang
terpandai di antara santri lainnya.
Tidak heran Syekh Abdur Rauf mencurahkan segala ilmu yang pernah
dipelajarinya, dan Pakiah Pono pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
dimana kesempatan tersebut dia pergunakan sebaik mungkin sehingga Ilmu
syariat Islam yang bercabangkan fikh, tauhid, tasauf, nahu, sharaf,
hadits, ilmu taqwim (hisab) dan juga ilmu firasat dapat dia kuasai.
Suatu
ketika Pakiah Pono dibawa Syeikh Abdurrauf ke surau besar dan kemudian
menyuruh Pakiah Pono membuka lembaran Kitab dan Syeikh Abdurrauf
mengajarkannya sekali jalan dan kenyataannya seluruh isi dari kitab
tersebut telah dikuasai oleh Pakiah Pono.
Itulah metode pembelajaran baru yang yang diterapkan Syeikh Abdurrauf
pada Pakiah Pono yaitu dengan memberikan wejangan secara lisan terlebih
dahulu kemudian baru membuktikannya dengan melihat isi kitab.
Dalam menuntut ilmu berbagai ujian berat di lalui Pakiah Pono hingga
akhirnya berhasil lulus dengan baik dan sempurna dimana Syarat lulus
Pakiah Pono belajar dengan Syeikh Abdurrauf adalah Tajalli dengan
Allah.
Man a’rafa Nafsahu Waman a’rafa Rabbahu, Man a’rafa Rabbahu,Fasaddal Jasadu(Bila engkau mengenal dirimumaka otomatis engkau mengenal TuhanmuBila engkau mengenal TuhanmuMaka tiadalah berharga lagi kebendaan bagimu)dan Ma’rifat ini didapatnya dengan berkhalwat mengkaji diri selama 40
hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan
Beureun.
Sepulang
Berkhalwat dan hendak menuju Pondok pesantren Pakiah Pono disuruh
melihat ke langit maka berbagai fenomena alam tak sadarnya terpampang
disana.
Syeikh Abdurrauf menyuruh Pakiah Pono menceritakan apa yang terlihat olehnya untuk didengan santri lainnya.
Pakiah pono menceritakan bahwa ketika dia melihat ke atas terlihat
olehnya 7 lapisan langit dan diatasnya terdapat bentangan tupah berisi
ayat-ayat Alqur’an tempat dimana Allah memerintah Malaikat Zibril
membawa Alqur’an tersebut kepada Nabi Muhammad SAW.
Dan ketika dia melihat kebawah terlihat olehnya 7 lapis Pitalo bumi dengan segala isinya.
Kesemua penglihatan Pakiah Pono dijabarkan oleh Syeikh Abdurrauf
sehingga para santri yang lain bergetar hatinya dan mengakui betapa
kerdilnya manusia itu dihadapan Allah
Syekh Burhanuddin kembali ke Pariaman.Setelah
dirasa cukup menerima ilmu pengetahuan dari Syeikh Abdurrauf maka
tibalah saatnya Pakiah Pono dikembalikan ke Pariaman meninggalkan Aceh
guna mengembangkan Agama yang dia pelajari selama ini.
Masa pendidikan itu berakhir dengan perpisahan antara guru dan murid yang berlangsung dengan penuh kasih sayang.
Menurut cerita terjadi percakapan antara Syekh Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi : “
Saat
ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada
taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati.Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari lamanya.Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak.Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan.Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.” Ujar Syeikh Abdurrauf yang disambut Pakiah Pono dengan kalimat hamdallah
“ Alhamdulillahi Rabblil A’lamien”.
Kemudian Syeikh Abdurrauf melanjutkan,
“Pulanglah kamu
kenegerimu, ajarkan ilmu yang ditakdirkan Allah, kalau kamu tetap kasih,
takut dan malu kepadaku maka kamu akan mendapat hikmah, Tanganmu akan
dicum raja-raja, Penghulu-penghulu, dan orang besar seluruh negeri,
muridmu tidak akan putus hingga akhir Zaman, dan ilmu kamu akan
memberkati dunia, karena Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat
Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam
Minangkabau. Kini, engkau, aku lepaskan.Namun dengarkan baik-baik!Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi.Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini, beliau memberi amanat
yang harus kusampaikan kepadamu karena itu setelah ini engkau memakai
nama Burhanuddin dimana nama tersebut pemberian dari guruku Syekh Ahmad
al Kusasi itu untukmu jauh sebelum engkau berguru padaku dan ia
menitipkan sepasang jubah dan kopiah.Terimalah ini dari padaku supaya
sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan
sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”.
Demikian isi perbincangan mereka.
Kejadian itu terjadi sekitar Tahun 1686 M. dimana merupakan hari
Keberangkatan Pakiah Pono yang kini sudah bergelar Syeikh Burhanuddin
untuk meninggalkan mesjid Singkil selama-lamanya.
Pakiah Pono alias Syeikh Burhanuddin dilepas Syeikh Abdurrauf dengan
sebuah taufah dan membekalinya perahu disertai 70 orang yang akan
mengawalnya selama dalam perjalanan.
Rombongan ini dipimpin oleh seorang Panglima yang bernama Katib
sangko berasal dari Mudiak Padang Tandikek yang berlayar dengan Tentara
Hindu Rupik dan kemudian menuntut ilmu pada Syeikh Abdurrauf kini dia
diminta untuk mengantarkan Syeikh Burhanuddin sampai di kampung
halamannya.
Alasan Syeikh Abdurrauf membekali Syeikh Burhanuddin pengawal karena
dia yakin nanti akan mendapat tantangan berat sebab kala itu masyarakat
Pariaman masih kental memeluk agama Hindu Budha sehingga banyak tukang
–tukang sihir akan merintangi karena mereka tidak senang kesenangannya
di usik dan ganti.
Setelah bertolak dari Aceh rombongan Syeikh Burhanuddin singgah di
Gunung Sitoli untuk menambah bekal air Minum maka disitu rombongan
menggali sumur yang airnya tidak payau layaknya air dekat tepi Pantai
melainkan bagai air pergunungan.
Setelah selesai shalat dan perbekalan dicukupkan maka rombongan Syeikh Burhanuddin bertolak kembali menuju Pariaman.
Menurut hikayat sumur yang ditinggalkan itu dijadikan orang sebagai
tempat berobat maka bernamalah dia menjadi sumur niaik dan kemudian oleh
perubahan dialek menjadi sumur nieh dan pulaunya dinamakan Pulau Niaeh
(kini namanya Kepulauan Nias).
Jauh
berlayar akhirnya rombongan Syeikh Burhanuddin tiba di Pulau Angso
dimuka pantai Pariaman dan istirahat selama dua hari, kiranya selama itu
pecah berita dimasyarakat bahwa ada rombongan kapal Aceh yang datang
merapat di Pulau, nama Panglimanya Katib Sangko membawa seorang yang
bergelar syeikh Burhanuddin dengan tujuan untuk mengembangkan agama
baru.
Berita dari nelayan ini menyulut kemarahan tukang sihir sehingga
mereka mengeluarkan segala kepandaiannya untuk mengusir rombongan syeikh
Burhanuddin.
Hiruk pikuk kemarahan para tukang sihir tidak membuat gentar Katib
Sangko dia tetap menjalankan perintah gurunya mengantar Syeikh
Burhanuddin ke Pariaman dengan selamat maka didayungnya kapal ke pantai.
Dipantai kedatangan mereka tidak disambut dengan baik mereka ditolak
sebelum mereka myampaikan maksud kedatangannya maka terjadilah
perkelahian yang memakan banyak korban baik dari Rombongan Katik Sangko
maupun pihak penyihir, tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama
Ulakan yaitu tempat penolakan kedatangan Rombongan Syeikh Burhanuddin.
Berita perkelahian yang memakan korban ini sampai ke basa nan
barampek di Tandikek Tujuh Koto sehingga mereka segera menyusul untuk
menangkap Katib Sangko.
Dugaan mereka salah kiranya rombongan Katib Sangko sangat kuat
sehingga tiga dari keempat basa tersebut yaitu Gagak Tangah Padang,
Sihujan Paneh, dan si Wama mati.
Peristiwa ini membuat Kalik-Kalik jantan gelap mata sementara rombonyan Katib sangko juga banyak yang tewas.
karena mengetahui Kalik-kalik jantan kebal terhadap senjata tajam
akhirnya Katib Sangko yang melapor pada Syeikh Burhanuddin. Oleh Syeikh
Burhanuddin Katik Sangko disuruh kembali ke Aceh melapor pada Syeikh
Abdurrauf tentang kejadian ini dan minta petunjuk. Bagaimana mengalahkan
Kalik-kalik Jantan.
Oleh
Syeikh Abdurrauf Katik sangko diajarkan cara menghilangkan ilmu kebal
Kalik-kalik Jantan dan 150 bala bantuan yang lebih berpengalaman dalam
berperang dikirim.
Setelah bantuan tiba di pulau angso syeikh Burhanuddin memerintahkan
kembali menyerang dari pantai Pariaman dipagi hari maka pertempuran
kembali pecah dan kali ini Kalik Kalik Jantan membuat tameng rakyat
sebagai pelindung namun dia bisa didesak mundur hingga ke hulu batang
mangau di tepi hutan Tandikek Tujuh Koto disitu rombongan Kalik Kalik
jantan terdesak namun berusaha bertahan dan akhirnya terbunuh oleh Katik
Sangko.
Dan tempat pertahanan terakhir kalik-kalik Jantan itu diberi nama Koto Nan Alah.
Tewasnya Kalik-kalik jantan berdampak pada menyerahnya pengikut
Kalik-kalik jantan di seluruh Pariaman selanjutnya Katib Sangko
dinobatkan menjadi Mufti di Tandikek.
Setelah merasa aman Syeikh Burhanuddin mulai mencari informasi
tentang keberadaan kawan karibnya yang kiranya telah diangkat menjadi
pemuka masyarakat dengan gelar Majolelo.
Maka
melalui nelayan yang singgah dipulau Syeikh Burhanuddin mengirim pesan
pada Idris bahwa dia adalah si Pono yang dahulu pergi belajar ke Aceh.
Mendapat informasi bahwa yang datang adalah Sipono yang kini bergelar
syeikh Burhanuddin maka Idris majolelo mengajak Ninik Mamak, Pemuka
Adat sanak kerabat dan tokoh masyarakat untuk menjemputnnya karena
mereka sudah mendengar makan tangan pasukan yang membawa syeikh
Burhanuddin maka melalui Pantai Pariaman Syeikh Burhanuddin di Jeput.
Pertemuan antara teman karib berlangsung haru.
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam.
Sebagai
tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin
menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan
kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia minta dikuburkan dekat
pinago biru ini.
kemudian Idris Majo Lelo membawa syeikh Burhanuddin ke Tanjung medan
dan dalam perjalanan Idris Majo Lelo menceritakan keadaan orang tua
Syeikh Burhanuddin yang telah lama meninggal dan telah diselenggarakan
dengan baik.
Setelah sampai di Tanjung Medan upacara penyambutan kedatangan
syeikh burhanuddin dan berlangsung meriah, Syeikh Burhanuddin diberi
tanah tempat tinggal.
Kedatangan Syeikh Burhanuddin membuat nagari menjadi bergairah, Santri awalnya adalah kaum keluarga dan kerabat Idris Majolelo.
Untuk
memudahkan pengembangan syi’ar agama Syeikh Burhanuddin meminta
masyarakat agar membawa anaknya ke surau untuk bermain bersamanya.
Disinilah cikal bakal pengembangan ilmu agama yang dilakukan oleh syeikh
Burhanuddin.
Sistim pembelajaran yang dilakukan Syeikh Burhanuddin tidak seperti
biasa, dia melakukannya sambil bermain, semua Permainan yang ada
dimasyarakat saat itu dia ikuti, dari Sepak Rago, main gundu dan
layang-layang semua dilakoninya namun setiap memulai permain dia selalu
membaca basmallah dan doa-doa lain yang membuat dia menang hal ini
menimbulkan minat anak –anak untuk mengetahui dan belajar apa isi doa
yang dibaca Syeikh Burhanuddin menjadi tinggi, dan setelah
murid-muridnya semakin banyak maka atas musyawarah kaum Koto secara
gotong royong dibuatkan masyarakatlah sebuah surau tempat Syeikh
Burhanuddin mengajar lokasinya di Tanjung Medan tanah milik Idris
Majolelo.
Perjanjian Bukit Marapalam
Mashurnya
kegiatan Syekh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain,
dari Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam,
Pariangan Padang Panjang sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung
sendiri tersintak mendengar berita ini.
Seluruh
Alam Minangkabau menjadi goncang, perhatian dan perbincangan masyarakat
tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam.
Untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Minangkabau cara
yang dilakukan Syeikh Burhanuddin ialah meniru cara Gurunya Syeikh
Abdurrauf, dengan memakai kuasa dan restu Raja Pagaruyung.
Apa bila Raja telah bisa diyakinkan tentang kebenaran agama Islam maka Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi.
Mungkin sudah kehendak hiradat Allah, salah seorang temannya ketika
belajar di Aceh yaitu Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan
Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui
Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam untuk menyampaikan niatnya
memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah, niat ini diterima baik oleh
Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Urang Nan Sabaleh” di
Ulakan.
Akhirnya Syekh Burhanuddin, Idris Majo Lelo, Mangkuto Alam dan Urang
Nan Sabaleh Ulakan dengan diiringi hulubalang seperlunya berangkat
menghadap Daulat Yang Dipetuan Raja pagaruyung.
Pertama sekali yang ditemui adalah Datuk Bandaharo di Sungai Tarab
untuk minta petunjuk. Dan atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah para
basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan”
yang minta izin untuk menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau.
Datuak Bandaro memilih sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam”.
Isi
dari pertemuan tersebut disepakati yang intinya kedua komponen antara
Adat dan Sarak merupakan norma hukum dan saling isi mengisi dimana
konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak, sehingga
alim ulama di Minangkabau dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi
politik agama.
Konsep Marapalam ini disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung.
Dan dari Raja diminta pembesar kerajaan mempertimbangkan yang diterima
dengan suara bulat sehubungan dengan politik Yang Dipertuan Pagaruyung
dalam menentang monopoli Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba
menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau
pesisir dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Maka Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan wewenang seluas-luasnya mengembangkan agama Islam di seluruh Alam Minangkabau.
Seperti bunyi pepatah adat yang disebutkan batas-batasnya sebagai
berikut “di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo
rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya
dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Sebagaimana yang dilakukan Syeikh Abdurrauf dalam menguasai ulayat
aceh “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali
pada raja Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) maka sistim ini
disalinterapkan oleh Syekh Burhanuddin di Minangkabau.
Sasaran utama Yang Dipertuan Raja Pagaruyung menerima syarat
Syekh Burhanuddin ialah demi kepentingan keutuhan Alam Minangkabau
sementara Syeikh Burhanuddin sendiri memiliki misi agar agama islam
menjadi sendi utama dalam kehidupan manusia khususnya di Minangkabau.
Wilayah
pesisir yang merupakan bagian dari rantau Minangkabau mulai berkembang
surau-surau, surau-surau ini mulai mengadakan perlawanan terhadap
monopoli dagang bangsa Eropah, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah,
Tuanku Surau Gadang di Nanggalo.
Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan
mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung.
Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam.
Pengalaman Syekh Burhanuddin ketika bersama Syekh Abdur Rauf sebagai
mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik
keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa
bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada
Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam
Minangkabau. Anak negeri menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam
diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup
dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak
mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama
berkembang dari daerah pesisir.
Syekh Burhanuddin dengan syi’ar syariat Islamnya telah menyinari Alam
Minangkabau sehingga banyaklah orang yang menuntut ilmu agama
berdatangan ke Tanjung Medan.
Nama
Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam modern
saat itu sudah masyhur kemana-mana, Surau Tanjung Medan penuh sesak
dengan murid-murid beliau sehingga dibangun lagi surau-surau
disekeliling surau asal.
Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang
merupakan satu kampus, itulah awal mula sistem pesantren yang kita kenal
sekarang.
Perjanjian Marapalam berkembang menjadi suatu proses penyesuaian
terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai
pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Syekh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang.
Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa.
Sebelum
meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus
dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan
dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syekh Burhanuddin melatih dan
mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin
yang akan menggantikan kedudukan, “khalipah” kelak.
Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam
mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan
dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalipah I.
Idris Majo Lelo yang dinobatkan jadi Katib, teman akrab Syekh
Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama
Islam.
Saat itu mashurlah surau Syeikh Burhanuddin kepenjuru dunia sehingga
pada sisinya berdiri banyak surau-surau kecil yang dihuni oleh pelajar
dari berbagai daerah di Minang Kabau, Riau dan Jambi sehingga tersebut
lah Tanjung Medan sebagai negeri seratus surau.
Manuskrib kitab Syeikh Burhanuddin
manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang
oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq (Kitab Hakikat). Kitab
aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning,
khalifah yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan
Ulakan.
Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan
tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning lebih tebal dari kertas
biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang
dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4
abad (zamannya Syekh Burhanuddin).
Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab Tahqîq tersebut
tidak bisa dilihat oleh sembarang orang dan juga tidak boleh dibawa
keluar dari Surau, karena hal itu merupakan amanah, demikianlah seperti
dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian
pendahuluan kitab Tahqîq penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab
ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang
populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahl al-Sunnah wa
al-Jamâah.seperti (1). Kitâb Tuhfah al-Mursalah ilâ rûhin Nabî, (2)
Kitâb al-Ma`lûmât, (3) Kitâb Adab ‘Asyik wa Khalwat, (4) Kitâb Khâtimah,
(5) Kitâb Fath al-Rahmân, (6) Kitâb Maj al-Bahraiin, (7) Kitâb Mi`dân
al-Asrâr, (8) Kitâb Fusûs al-Ma`rifah, (9) Kitâb Bayân al-Allâh, (10)
Kitab Bahr al-Lahût, (11) Kitab Asrâr al-Shalâh, (12) Kitâb al-Wahdah,
(13) Kitâb Futûhat, (14) Kitâb Tanbîh al-Masyi’, (15) Kitâb al-Asrâr
al-Insân, (16) Kitâb al-Anwâr al-Haqâiq, (17) Kitâb al-Baitîn, (18)
Kitâb Syarh al-Hikâm (19), Kitâb al-Mulahzhah (20) Kitâb al-Jawâhir
al-Haqâiq,
Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu
terdiri dari lima kitab bertahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW
bersamaan dengan 1788 M. yang ditulis setelah satu abad Syekh
Burhanuddin wafat.